Custom Search

METAMORFOSA PARADIGMA BERFIKIR MENUJU MAHASISWA YANG CERDAS, KRITIS, DINAMIS DAN BEREMPATI


PENDAHULUAN

Disadari atau tidak, pendidikan adalah wahana, sudah sejak tahun 900-an sebelum Masehi ketika sistem pendidikan mulai dilembagakan di kota Sparta, pendidikan tidak pernah di arahkan untuk dirinya sendiri (Thompson 1951:1; Smith, 1979:1). Pendidikan selalu sebagai alat, yaitu pendidikan sebagai alat untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, alat untuk meningkatkan pekerjaan, alat investasi, alat konsumsi, alat menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat untuk meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai tekhnologi, alat untuk menguak rahasia alam raya dan manusia, alat menciptakan keadilan sosial, alat pemanusiaan, serta alat pembebasan (Jaks, 1946; Friere, 1968; Rogers and Ruchlin, 1971; Blaugh, 1972; ul Haq, 1974; Edward an Todaro, 1974; Schumacher, 1979: 78; Scheffer, 1985; Hendley, 1986; Ruwiyanto, 1994; Tilaar, 1998; Buckley, 1998). Sebagai alat, pendidikan diabdikan kepada sebuah atau beberapa tujuan. Dalam tujuan terkandung visi dan missi. Di sinilah terjadi medan dan perbutan pengaruh dan berbagai kekuatan lengkap dengan ideologinya. Kekuatan dan ideologi ini terjelma dalam sistem ekonomi pendidikan. Masing-masing sistem ekonomi pendidikan membuat visi dan misinya tersendiri. Adalah tugas para pencinta menusia untuk selalu mengembalikan visi dan misi pendidikan pada nilai-nilai kemanusiaan dalam semangat kerakyatan. Artinya pencapaian kemanusiaan itu bukan menjadi ekslusivitas elite dan kaum terpelajar, melainkan berdimensi komitmen pada rakyat secara khusus. Dalam hal ini semoga mahasiswa bisa berfikir ke depan untuk menentukan masa depannya.


AWALNYA BERANGKAT DARI STREOTYPE

Sejak kecil kita telah dididik untuk selalu menerapkan sikap tunduk atau patuh, baik dan jujur. Di rumah, majelis-majelis atau forum ilmiah, dan bahkan di sekolah, streotype itu menjadi wejangan yang rasanya wajib untuk terus diajarkan, tanpa menghiraukan bagaimanan konsepsi yang lebih pas memasukkan nilai-nilai dari ‘ajaran” itu.

Dalam artian yang lain, streotype yang awalnya “baik” akhirnya dipelestkan menjadi sesuatu yang kurang “enak” bagi perjalanan nalar kreatifitas dan potensi seorang anak didik. Ternyata memang benar, teori yang baik akan hancur jika aktualisasinya tidak benar. Kita bisa lihat dalam kenyataan yang terjadi hari ini. Konsepsi “patuh/tunduk”, “baik dan jujur” menjadi justifikasi untuk melegalkan “keinginan” merampas hak anak-anak sebagai orang yang merdeka. Semakin patuh dan tunduk seorang anak didik maka akan semakin terasa nuansa pendidikan begitu kaku dan beku. Puncaknya, semakin dunia pendidikan marak dengan ragam ide dan penemuan, semakin terasa betapa kemajuan itu hanya semata menjadi sebuah riset tanpa makna hakiki. Makna kemanusiaan yang diharapkan mampu berdampak dimensional; intelektual, emosiani, dan spritual, tidak lagi menjadi sesuatu yang menyejukkan.
Akibatnya, perjalanan pendidikan yang terus bergerak maju, pada sisi yang sangat mendasar, telah menumbuhkan kengerian tersendiri. Ada banyak hal yang patut untuk diperhatikan, sisi kesiapan pengelola pendidikan untuk memposisikan “mereka” sebagai manusia yang merdeka. Biarkan “mereka” menentukan pilihan dan berkarya. Prinsip keadilan (equality) dalam pengelolaan pendidikan sudah saatnya dimantapkan. Dengan prinsip ini, setiap anak harus mendapatkan pendidikan sebagai hak paling asasi tanpa diskriminasi yang memungkinkan dapat mengembangkan kemampuannya secara penuh” (Caidwell dan Spinks, 1992)
Sepintas ungkapan Caidwell dan Spinks ini cukup signifikan untuk dijadikan sebagai acuan bahwa terdapat asumsi yang ambigius dan corak pemikiran yang statis ketika kita melihat suasana dan perjalanan pendidikan serta per ‘sekolah’an di Indonesia akhir-akhir ini. Asumsi tersebut didasarkan pada penilaian bahwa semua strategi pembelajaran yang diterapkan hanya menitikberatkan pada satu aspek pendidikan saja, yaitu kognitif kondisi ini berimbas cukup signifikan pada tingkat keilmuan dan keberhasilan pendidikan dan peserta didik, sehingga tidak aneh bila orientasi pendidikan di Indonesia cukup pragmatis, yaitu bagaimana mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi ujian nasional (UNAS) sehingga siswa dapat meraih nilai yang tinggi sebagai persiapan melamar kerja. Ironisnya, tujuan tersebut tidak diimbangi dengan kematangan kualitas skill dan kecakapan kewinausahaan (entrepreneur skill). Kondisi inilah yang sering kali disebut dengan degree holder.

Walaupun sejak dilegalkannya kurikulum 1964 dan suplemen 1987, pola pengajaran dalam institusi pendidikan menggunakan metode belajar aktif, namun asas dan substansi yang berada dalam konteks pengajaran masih belum diaplikasikan secara utuh. Karena kegiatan belajar mengajar (KBM) semacam ini, sebenarnya lebih mengarah pada upaya memasukkan konsep kurikulum baru, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di sekolah. Dalam kurikulum ini, siswa memang dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam memperoleh materi pelajaran yang telah diberikan oleh guru.

Namun demikian, yang menjadi persoalan sekarang adalah guru mata pelajaran yang meski banyak tahu tentang realisasi kurikulum ini di dalam kelas masih mengacu pada content base, sehingga sebaik-baik kurikulum yang dibuat oleh pemerintah tidak mampu distabilkan dalam konteks belajar mengajar. Kurikulum tersebut pada gilirannya menyerupai tendensi strategi pembelajaran yang adhoc dan statis.

Dalam hal ini, kurikulum masih sekedar berada dalam apa yang pernah sebut Freire sebagai Banking Concept of Education. Secara praksis, analogi ini bersejajar dengan pemberdayaan kurikulum yang selama ini dicoba untuk diterapkan. Dalam beberapa laporan akhir-akhir ini, disebutkan bahwa penggunaan konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) secara tepat hanya dapat dilakukan oleh tiga institusi pendidikan (sekolah) di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa rendah tingkat pelaksanaan metode dan strategi pembelajaran yang berkualitas, walaupun pemerintah Indonesia telah merubah beberapa kali kurikulum di negeri ini.

Hal ini juga disebabkan oleh beberapa kasus yang terjadi hampir di seluruh sekolah Indonesia, yaitu merebaknya buku-buku paket (pelajaran). Munculnya buku-buku ini, pada satu sisi, dapat menguntungkan pihak sekolah, terutama menyangkut pembangunan dan perlengkapan institusional. Namun, di sisi yang lain, buku-buku yang kebanyakan diproduksi oleh penerbit-penerbit di beberapa kota, tidak sesuai dengan standar kurikulum yang berlaku. Sehingga, pengajaran kepada siswa melalui buku-buku itu tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ada juga diantara buku-buku ini yang seharusnya dijadikan pedoman, akan tetapi ada beberapa guru tidak bisa
menggunakannya. Meskipun, buku-buku tersebut sudah diberi label dengan pendekatan Kurikulum Berbasis Kompetensi, walaupun nyaris tidak ada buku yang menggunakan silabus yang sebelumnya disusun. Padahal, dalam pelaksanaan KBK, setiap buku yang dijadikan referensi atau materi pelajaran harus disusun silabus terlebih dahulu oleh sekolah atau daerah setempat.
Dalam katerkaitan ini, dari beberapa kasus tersebut tentunya akan berdampak besar pada kepribadian siswa, khususnya tensi keilmuan dan skill yang diperoleh. Jika guru masih tetap “sepenuhnya” menggunakan buku-buku tersebut (tanpa didasarkan pada pendekatan kurikulum dan strategi yang efektif), maka yang selama ini dikhawatirkan oleh Freire tadi akan benar-benar terjadi; proses belajar-mengajar yang stagnan dan sama sekali tidak demokratis. Para siswa hanya dapat merasakan pelajaran-pelajaran yang diterimanya melalui metode instruksional semata. Dr. Nana Sudjana mengatakan “suasana belajar yang demokratis akan memberi peluang mencapai hasil belajar yang optimal, dibandingkan suasana belajar yang kaku, disiplin yang ketat dengan otoritas ada pada guru”. Dengan demikian, diperlukan strategi pembelajaran yang mampu memberikan pengaruh positif pada siswa dalam proses belajar-mengajar di sekolah.
Terlepas dari itu, selain implementasi kurikulum pendidikan di sekolah yang cenderung keliru, ada juga kasus yang cukup besar dan sedang diderita oleh hampir seluruh siswa sekolah formal ataupun non formal di Indonesia adalah problema minimnya minat baca siswa dari hari kehari. Baru-baru ini, ada informasi menarik perihal kondisi budaya (mem) baca di kalangan siswa Indonesia pada umumnya. Dari penelitian yang dilakukan oleh Taufiq Ismail dan Tim dari Majalah Sastra Horison, menghasilkan temuan yang cukup sensasional. Hasil penelitian yang pada akhirnya dipublikasikan secara luas itu, menjelaskan tentang wajib baca buku sastra selama 3 dan 4 tahun terakhir di 13 negara.

Hasilnya menurut Taufiq Ismail, buku sastra yang wajib dibaca di SMA Thailand adalah 5 buku, SMA Singapura 6 buku, SMA Brunei Darussalam 6 buku, SMA Rusia 12 buku, SMA Kanada 13 buku, SMA Swiss 15 buku, SMA Jepang 15 buku, SMA Jerman 22 buku, SMA Prancis 25 buku, SMA Belanda 30 buku, SMA Amerika Serikat 32 buku dan yang terakhir SMA di Indonesia 0 buku.

Temuan yang sensasional di sini adãlah wajib baca buku sastra Indonesia hanya 0 buku. Padahal, dalam masa sejarah yang lampau, pelajar Indonesia pada zaman Kolonial Belanda (pelajar AMS Hindia Belanda, setingkat SMA) diwajibkan membaca kurang lebih 25 buku sastra. Tentunya, kurangnya minat membaca buku bagi siswa ini pelanpelan akan menghilangkan optimisme bangsa yang sedang ‘mengimpikan’ generasi-generasi berkompeten. Lebih jauh, decreasing ini akan mengubur peradaban Indonesia yang dulunya sangat mencintai karya-karya yang kreatif.

Dalam konteks ini, keprihatinan akan budayanya budaya baca di kalangan siswa lebih disebabkan kurangnya motivasi, baik dan dalam atau luar diri siswa. Motivasi untuk meningkatkan minat baca tidak saja dipengaruhi sejauh mana keinginan dan cita-cita siswa itu tumbuh, tapi juga adanya dorongan orang tua, lingkungan dan terutama pengelola pendidikan dimana siswa menuntut ilmu. Faktor pendidikan adalah pengaruh (dorongan) utama untuk meningkatkan minat baca di kalangan siswa. Hal ini disebabkan, sekolah (lembaga formal pendidikan) adalah tempat dimana siswa mendapat ilmu pengetahuan dan pelbagai sumber buku. Sekolah juga merupakan tempat edukatif informatif-dokumen tarif bagi
siswa dengan pelbagai buku yang telah disediakan. Nuansa kependidikan tentunya lebih besar di sekolah, daripada lingkungan (tempat) lain.
Akan tetapi, saat ini yang menjadi persoalan adalah: bagaimana menformat sekolah sebagai lembaga yang benar-benar melayani siswa dalam menumbuhkan minat baca? Strategi apakah yang seharusnya diimplementasikan agar siswa terus dapat membudayakan kegiatan membaca tersebut? Padahal saat ini, pendidikan masih gagap untuk melakukan perubahan strategi pembelajaran. Sampai saat inipun, strategi pembelajaran yang dilakukan oleh pihak sekolah (baik guru atau dewan sekolah) tidak maksirnal, bahkan nyaris tidak sama sekali memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dalam konteks interaksi KBM. Bagaimana peran sekolah seharusnya memberikan peluang besar agar dapat menumbuhkan selera dan minat baca bagi siswa? Hal ini diakui, karena tradisi membaca tidak menjadi satu hal yang krusial yang mesti diperhatikan oleh pihak sekolah.

Mayoritas sekolah lebih menerapkan bagaimana proses belajar mengajar berjalan “apa adanya” dan gala kadamya”. Tanpa memperhatikan
sejauhmana tingkat emosi siswa dalam menelaah buku-buku pelajaran dan literaur-literatur lain yang dianggap sangat penting.
Fenomena tersebut sejatinya merupakan persoalan “pelit” yang tidak boleh dibiarkan. Kemajuan anak didik pada klimaksnya adalah menjadi tanggungjawab tenaga pendidik. Dari sinilah, pada akhirnya persoalan profesionalitas dan kematangan seorang guru menjadi sebuah keniscayaan? Salah satu pertanyaan yang sangat mendasar ; apakah selama ini para tenaga pendidik sudah mampu berfikir masa depan anak didik menjadi lebih menjanjikan?

WAJAH MURAM PENDIDIKAN KITA

Akhimya setelah kita merasakan betapa pelik persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita, hanya ada satu kata yang bisa terucap; kenapa kok bisa begitu? Pertanyaan yang tidak main-main dan seyogyanya menuntut untuk direnungkan dan dikaji secara kritis kritis. Kalau Darmanigtyas (1999: 158-159) selalu melontarkan kritik tajam terkait dengan perjalanan pendidikan di tanah ajar, mengapa kita —sebagai abdi pendidikan- tidak pernah mau peduli dengan kondisi pendidikan? Bagaimanapun persoalan pendidikan adalah persoalan kita bersama. Persoalan adalah suatu hal yang niscaya. Tidak hanya di ranah pendidikan, di mana saja, disemua jalur kehidupan pasti ada yang namanya persoalan problem. Karena persoalan pada puncaknya akan mengantarkan pada titik kedewasaan. Dewasa dalam berfikir dan memutuskan suatu kebijakan. Dan, mungkin seperti itu nilai dasar dan lahirnya pendidikan ke tengah-tengah umat manusia. Perididikan ada, lantaran ingin membenarkan regulasi kedamaian, ketajaman menganalisis persoalan, menatapkan komitmen dan semangat dalam menatap masa depan. Sama hal yang mungkin harus selalu dibaca, pendidikan setidak-tidaknya mampu merubah perilaku berkehidupan kita lebih humanis. Pertanyaannya; sudahkan kita menemukan macam itu?
Seperti diyakini oleh banyak orang, bahwasanya pendidikan telah mampu menerobos dimensi dan ruang kehidupan.

Dengan pendidikan orang akan mampu memformat perjalanan kehidupanya menjadi iebih baik. Bahkan dalam dogma agama dengan tegas dinyatakan bahwa pendikan adalah semata dalam memperoleh dua keberuntungan sekaligus, yaitu keuntungan di dunia dan akherat.
Pada satu sisi, kita mungkin bisa melihat betapa pendidikan akan menjadi ruh tersendiri dalam membangaun dan menyukseskan berbagai macam agenda besar kehidupan. Tidak hanya itu, pendidikan sering kali dipolas menjadi salah agenda besar yang respek akan persoalan kemanusiaan. Akhirnya ada wacana yang berkembang, hanya orang berpendidikan saja yang akan mampu berfikir dewasa. Sementara yang terjadi di lapangan? Kita mungkin bisa menyaksikan betapa impian-impian yang kita idealkan tidak pernah terwujud dan hanya menjadi guntur dalam gemuruh slang yang tidak pernah mendatangkan hujan. Kisah Tomo di awal tulisan ini menjadi potret yang “tidak enak”
untuk dibaca. Masihkah kita akan memperbincangkan makna hakiki hadirnya pendidikan?.

Sementara persoalan pendidikan dari hari ke hari makin meruncing dan membiaskan kegelesahan tersendiri. Pendidkan semakin menjadi ladang pelanipiasan ego dan kepentingan sesaat, yaitu kepentingan yang tidak bisa lepas dan masalah kekuasaan. Kekuasaan memang selalu menjadi bumerang dan menghancurkan tata nilai suci yang terbangun sebelumnya. Kita mungkin tidak percaya saat ada sinyalemen yang menyatakan bahwa durna pendidikan kita telah rapuh dan digerogoti oleh virus-virus yang membahayakan. Pendidikan yang dulu sering kita gaungkan sebagai pembebas dan pembedah kejumudan berfikir dan gaya hidup, sepertinya menjadi indikasi awal akan terburainya tata berkehidupan yang lebih menjanjikan. Jika realitasnya memang demikian, maka sudah saatnya bagi semua pihak untuk mencoba duduk dalam satu bangku, guna mendialogkan persoalan-persoalan kritis dan pelik tersebut. Hanya dengan dialog, akan ditemuakan titik solusi cerdasnya, sehingga problem pendidikan tidak akan menjadi bisut-bisul yang tidak tidak pemah bisa disembuhkan. Dengan dialog pula, ragam ide dan gagasan segar akan bersatu dan menjadi jawaban transformatif guna merumuskan solusi yang benar-benar menjanjikan.


PENUTUP

Kembali Pada Kefitrian Nilai Sumbang ide dari berbagai pihak pada skala yang dimensional sangat dibutuhkan. Sangat diharapkan guna perbaikan stabilitas pendidikan di Indonesia. Lebih-lebih di wilayah lokal —Sumenep ini. Peta pendidikan tanah Air Wiraraja dalam perjalanannya masih tidak mampu memolas diri dengan ciri khas yang benar-benar beridentitas. Artinya, pendidikan kita masih setara dengan perjalanan pendidikan di belahan dunia, yaitu berjalanan sejalur dengan peta jarum pusat. Kesana kemari, harus mempertontonkan peraturan yang menurut penulis masih berwatak bisnis oriented, tidak memerdekakan dan memberikan otoritas penuh kepada pengelola pendidikan untuk merumuskan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Padahal kita sangat mendambakan pendidikan menempati pada posisinya sebagai media pada gilirannya akan mampu memberi nuansa lain bagi dinamika pemikiran dan tata berkehidupan.

Kita mungkin harus terus melakuakan pengkajian dan pemberdayaan atas laju pemikiran umat mengenai pendidikan. Pendidikan bukanlah setumpuk buku dengan perangkat aturan formalitas. Pendidikan bukan ruang kelas dengan segepok uraian dalam teks ujian. Pendidikan seutuhnya adalah proses mendewasakan pemikiran manusia. Tujuan hakiki pendidikan adalah memberikan kebebasan kepada sesama untuk berbenah dan menentukan masa depannya. Untung jika mampu membuncahkan spirit dalam menemukan dirinya sebagai hamba Tuhan di muka bumi.

Akhirnya, pendidikan sudah saatnya menjadi intsrumen bagi gerak perkembangan dan perubahan. Pendidikan harus mampu menjadi tiang penyangga dari semua konsep kemanusiaan. Maka menjadikan pendidikan sebagai eksosodus dan ekosistem yang terus hidup dalam sanubari bukan suatu hal yang memalukan. Pendikan memang seharusnya menjadi ruh dalam menjalam kehidupan ini. Namun apa kiranya yang benar-benar compatible dari pendidikan yang sering kita jumpai. Ada beberapa hal yang harus kita gelorakan dalam rangka menata dunia pendidikan agar lebih-lebih baik: pertama, jangan menjadikan dunia pendidikan sebagai tempat bisnis. Adalah sebuah fakta, sekolah yang kita miliki jumlah siswanya dan TK sanipai SMTS per tahun rata-rata 37juta adalah pansa pasar yang cukup lumayan meraup keuntungan. Lembaga sekolah dan guru sering mengambil kesempatan dalam sebuah kegiatan. dua, kuatkan semangat untuk menciptakan masa depan pendidikan lebih berwibawa. Hal penting yang harus diingat oleh pihak pengelola pendidkan (baik pemerintah daerah atau pusat), yakni membangun sektor pendidikan tidak cukup hanya dengan menghamburkan biaya, namun membutuhkan startegi yang itu (Grand Strategy) untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan. Menurut Indra Jati, pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan, pertahanan dan pengingkatan hidup. Dalam bahasa agama, demi memperoleh ridla atau perkenan Allah.

Sedangkan menurut Zakiah Darajat pendidikan adalah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup. Persoalan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama, bukan hanya satu pihak. Maka Grand Strategy yang harus dilaksanakan setidaknya harus mampu menyentuh pada seluruh sektor
Oleh karena itu, semua kembali pada komitmen bersama untuk membangun dan mewujudkan impian-impian gemilang itu. Tanpa itu semua —mungkin- impian untuk mewujudkan masa depan pendidikan yang demilang hanya akan menjadi wacana. Maka, Pendidkan hams selalu dikaji sampái kita tidak lagi menemukan kebobrokan yang menghancurkan nilai suci keberadaannya. Tapi, semua tergantung dan kita bagaimana meresponnya.





0 komentar

Gabung di IDR cuman klik dpt Duit (lihat pendapatanku)

Cari Data Lain

Custom Search